PADA AKHIR TAHUN 2010, Lampung masih mencatatkan dirinya sebagai wilayah yang memiliki produksi udang terbesar di Indonesia. Bahkan Lampung juga masuk dalam kategori wilayah yang banyak menghasilkan produk perikanan budidaya. Dari total produksi udang nasional tahun 2009 yang mencapai 348.100 ton, sebanyak 40% dihasilan dari wilayah Lampung. Begitu pula dengan produk ikan lainnya seperti kerapu dan lain-lain.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan komoditas udang masuk dalam lima produk unggulan ekspor non migas Indonesia. Selain udang, Lampung juga memiliki potensi besar untuk pegembangan budidaya ikan kerapu. Pada tahun 2007 produksi ikan kerapu dari sejumlah sentra produksi di Lampung baru 83,3 ton. Jumlah itu meningkat menjadi 90 ton pada tahun 2008, dan melonjak hingga 294,59 ton pada tahun 2009 lalu.
Adapun kabupaten yang menjadi sentra budi daya kerapu di Lampung: Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran. Di Pesawaran, sentra kerapu terdapat di Pulau Puhawang dan Ringgung, Kecamatan Punduh Pidada. Sementara itu, di Lampung Selatan, sentra kerapu terdapat di Tanjung Putus. Lalu, yang menjadi sentra utama kerapu adalah di Ringgung
Umumnya jenis kerapu yang dibudidayakan di Teluk Lampung adalah kerapu tikus atau biasa disebut juga kerapu bebek, kerapu macan dan kerapu lumpur. Dari ketiga jenis tersebut, kerapu tikus yang paling dibudidayakan banyak karena pertumbuhannya paling bagus di perairan Teluk Lampung. Dan pasar kerapu dari Lampung 100% diekspor ke Singapura, Cina, Taiwan, dan Hong Kong.
Menujukkan Persamaan Hak Kedudukan yang Sama
Sayang, potensi besar ini belum dikelola dengan baik meski pemkab setempat memberikan pelatihan kepada pembudidaya ikan kerapu. Hal ini bisa jadi karena keterbatasan modal. Bayangkan saja, dahulu tahun 2002-2006, untuk membuat satu keramba kerapu jenis bebek, berisi 1.000 bibit, hingga panen, bisa menghabiskan dana Rp 55 juta. Saat itu, harga pakan ikan Rp 1.000 per kilogram. Namun, besarnya modal yang dikeluarkan, sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Karena sifatnya usahanya masih individual inilah, maka perlu pengembangan dengan pola kemitraan (pembudidaya dan pengusaha) yang mencakup: produksi, penanganan hasil pasca panen, pemasaran, organisasi kemitraan, aspek finansial, pembinaan dan penyuluhan, faktor-faktor penghambat dan pemecahannya, serta model kerjasama inti-plasma.
Pola kemitraan yang baik (ideal) tentu saja adalah hubungan kerja yang menujukkan persamaan hak kedudukan yang sama. Saling menguntungkan dan saling bahu-membahu. Sehingga dengan demikian tidak ada yang merasa paling superior, paling dominan, dan lain-lain.
Karena itu, jangan sekali-kali kedua belah pihak yang bermitra melanggar perjanjian kerjasama. Pasalnya, hal itu justru akan merugikan kedua belah. Tapi, sebaiknya sebelum melakukan pola kemitraan. Kedua belah pihak terlebih dahulu menyamakan persepsi mengenai apa itu pola kemitraan. Dengan demikian, diharapkan kedepan hal-hal yang tidak diinginkan tidak muncul.
Harus diakui bahwa pola kemitraan sangat menguntungan pembudidaya ikan. Selain untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, tapi juga menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat pembudidaya ikan pedesaan. Apalagi selama ini terlihat bahwa pembudidaya ikan selalu tergantung bantuan dari pemerintah baik itu pemda maupun pusat.
Pola kemitraan setidaknya bisa menanggulangi kemiskinan. Ini mengingat 30 juta rakyat miskin di Indonesia, dan 30 persen di antaranya merupakan masyarakat kelautan dan perikanan seperti nelayan, pembudidaya, dan pengolah ikan. Dengan pola kemitraan diharapkan masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dapat hidup sejahtera dan pertumbuhan wirausaha di bidang perikanan budidaya di pedesaan juga dapat terdorong. (*)
Rabu, 14 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar